Mengenalkan Huruf dan Angka Sebelum Mempelajarinya Kepada Anak Usia Dini

Adalah hal yang wajar ketika orangtua menginginkan anaknya lebih pintar, lebih hebat, lebih cemerlang dan banyak “lebih” lainnya. Hanya sayangnya kadang orangtua yang berkeinginan “lebih” tersebut menjadi lupa memperhitungkan kondisi kesiapan mental anaknya. Anak tanpa sadar dijadikan “alat” untuk mencapai apa yang dahulu tidak dapat diraih orangtuanya.

Hal yang paling mudah ditemukan dan terjadi nyata dalam masyarakat adalah adanya kebanggaan dari para orangtua jika anak mereka mampu melakukan kegiatan membaca dan menulis di usia dini. Seolah-olah, semakin cepat anak dapat membaca, menulis atau bahkan berhitung akan membawa sang anak memenangkan “perlombaan” keberhasilan hidup. Sekali lagi, banyak orangtua tidak menyadari resiko atas pengenalan membaca dan menulis pada anak di usia dini yang belum siap secara mental.


Akhirnya apa gunanya kebanggaan sesaat yang dapat dipamerkan ke saudara, tetangga dan para teman; akan anak yang sudah mampu membaca dan menulis bahkan berhitung di usia dini? Kalau pada ujungnya tejadinya “pemberontakan” anak ketika di usia SMP, SMA atau kuliah nanti dalam hal belajar? Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: Pada usia berapa seorang anak boleh diajarkan membaca dan menulis? Bagaimana kita mengetahui bahwa seorang anak sudah siap secara mental?


Apa kata para pakar?

Jean Piaget (1896 -1980) seorang filsuf, ilmuwan dan psikolog perkembangan asal Swiss yang terkenal karena hasil penelitian tentang anak-anak dan teori perkembangan kognitifnya; menunjukan bahwa cara berpikir anak secara kualitatif berbeda dari cara berpikir orang dewasa. Cara berpikir anak-anak berkembang melalui serangkaian tahapan yang berbeda. Bahkan anak yang sangat belia pun berperan aktif dalam memahami sesuatu. Mereka “membangun” kenyataan dan bukan “sekedar menyerap” pengetahuan.

Beliau secara tidak langsung menegaskan bahwa pelajaran membaca, menulis, dan berhitung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun. Alasannya, usia anak di bawah 7 tahun belum mencapai fase operasional konkrit. Yang dimaksud dengan fase tersebut adalah sebuah fase di mana anak-anak dianggap sudah mampu berpikir secara terstruktur dan nyata. Sedangkan kegiatan membaca, menulis dan berhitung dikatakan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak cocok diajarkan kepada pendidikan anak-anak usia dini.

Piaget mengkhawatirkan perkembangan mental anak akan menjadi terbebani jika kegiatan tersebut jika diajarkan terlalu dini (di bawah 7 tahun). Bukannya menghasilkan anak yang cerdas, malah akan membuat anak memiliki pengalaman buruk tentang belajar. Ketika mereka beranjak besar menjadi kehilangan gairah terhadap kegiatan belajar.

Sementara itu Glenn Doman, seorang terapis asal Amerika sepertinya berada pada sisi sebaliknya. Beliau memperkenalkan sebuah metode untuk membaca dini pada anak melalui flash card. Ide awal penemuannya tersebut didapatkan ketika beliau membantu menyembuhkan pasien-pasiennya yang mengalami cendera otak. Glenn melakukan terapi dengan kartu-kartu kata yang ditampilkan dengan cepat di hadapan pasien hanya 1 kata per detik. Dari hasil tersebut ditemukan adanya perkembangan pada otak pasien. Kemudian hal tersebut diterapakan ke anak-anak dan bahkan bayi.

Metode Glenn Doman dengan flash cards ini ternyata juga mendapatkan pertentangan dari sebagian ahli psikologi. Bahkan BBC London mempublikasikan sebuah film tentang hal ini. Alasannya, flash cards dianggap kurang rasional dan dapat merusak pembelajaran pada nalar dan logika. Kemampuan membaca menurut para psikolog umumnya diproses melalui tahapan-tahapan fonemik dan fonetik. Anak-anak harus terlebih dahulu mengenal huruf agar mampu membedakan bunyi, sampai akhirnya dapat menggabungkan huruf-huruf tersebut menjadi sebuah kata. Jadi belajar membaca, menulis dan berhitung tidak dapat dengan cara menghafal dengan flash cards.

Walaupun kedua aliran ini terlihat berbeda kutub, tetapi kedua pengikut aliran ini memiliki kesepakatan yang sama yaitu proses belajar haruslah dalam kondisi dan cara yang menyenangkan. Anak yang belajar dalam keadaan tertekan dapat menimbulkan trauma dan pada akhirnya akan menimbulkan keenganan untuk belajar.


Bagaimana dengan peraturan pemerintah?
Pada dasarnya pihak Dikdas tidak pernah mensyaratkan calon murid SDN harus bisa membaca dan menulis. Alasannya, karena saat belajar di TK belum sampai diajarkan seputar membaca dan menulis. Tetapi pada kenyataannya; entah sekolah dasar mana yang memulainya, seorang calon murid yang akan masuk sekolah dasar (SD) sudah dilakukan tes masuk membaca, menulis dan berhitung.

Berikut kutipan pernyataan dari Ibu Sylviana Murni, Kepala Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) DKI tentang usia anak masuk sekolah. "Sekolah TK itu masih sebatas pengenalan huruf dan angka dan belum sampai diajarkan membaca," tegas. "Yang jelas bila mau masuk SDN harus berusia tujuh tahun, dan bila masih ada bangku kosong baru mereka yang berusia enam tahun."

"Dan bila usia tujuh tahun dan enam tahun sudah tertampung masih juga ada bangku kosong maka bisa menerima calon murid berumur di bawah enam tahun, tetapi harus dilampirkan surat keterangan dari psikolog pendidikan. Surat keterangan dari psikolog pendidikan harus menyatakan bahwa calon murid secara mental sudah siap belajar di SD. Memang kadang ada usia di bawah lima tahun sudah bisa membaca, tapi kalau ternyata rekomendasi dari psikolog pendidikan belum siap sekolah di SD, ya jangan dipaksakan," sambungnya.

Dari pernyataan Ibu Sylviana Murni di atas menandakan bahwa pemerintah tidak membuat peraturan yang memaksa seorang anak harus mampu membaca, menulis dan berhitung di usia dini. Peraturan usia minimal masuk SDN usia 7 tahun menunjukan bahwa kematangan mental seorang anak pun telah diperhitungkan.


Bagaimana orangtua mengambil sikap?

Ada sebuah pernyataan yang menyebutkan,” Guru terbaik dan terhebat di muka bumi ini tetaplah seorang Ibu”. Karena sebenarnya orangtualah yang paling mengetahui perkembangan anak, bukan orang lain. Yang perlu diwaspadailah adalah masuknya informasi-informasi yang dapat menimbulkan bias dari orangtua terhadap anaknya. Misalnya, orangtua tanpa sadar membuat pengukuran dengan membanding-bandingkan antar anak-anaknya, atau dengan anak orang lain. Atau terpengaruh oleh sebuah alat tes yang sebetulnya hanya mengukur sebagian perilaku manusia untuk menyederhanakan pemahaman akan manusia sebagai mahluk yang unik sekaligus kompleks. Apakah hal-hal tersebut dapat dijadikan kesimpulan akhir yang dapat mengakibatkan anak menjadi tertekan dan mogok belajar?

Sepertinya sudah saatnya para orangtua untuk kembali memberi perhatian pada pertumbuhan nilai anak akan budi pekerti, kemandirian, dan tanggung jawab; bukan dengan memacu percepatan dan nilai anak pada pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Mana yang lebih Anda senangi? Seorang itu pintar secara intelektual tetapi mengalami ketimpangan pada budi pekerti? Atau seseorang yang memiliki keseimbangan antara intelektual dan budi pekertinya? Pilihan ada di tangan Anda.

1 komentar:

{ Hon Book Store } at: 16 Februari 2017 pukul 07.57 mengatakan...

Terima kasih untuk artikelnya...

Ayo dapatkan buku Berhitung dan Menulis Angka hanya di :

http://www.honbookstore.com/2017/02/berhitung-dan-menulis-angka.html

Posting Komentar